KOMPAS.com — Seorang kawan lama tiba-tiba mengirim pesan sms. Dalam pesan tersebut, ia menceritakan kondisi keuangannya yang terkuras habis karena orangtuanya sakit. Ia bahkan sampai menjual mobil. Sudah satu bulan ini ibunya tergolek di rumah sakit karena sakit. Kawan itu berharap teman-temannya bisa membantu beban keuangannya.
“Paradigma yang selama ini berkembang cenderung melihat asuransi sebagai kebutuhan terakhir yang tidak terlalu penting.”
Jika saja ibunya memiliki jaminan asuransi, mungkin ceritanya akan lain. Beban ekonomi yang harus mereka tanggung untuk biaya kesehatan akan berkurang. Itu hanya satu cerita saja.
Masih ada banyak cerita lain yang mirip seperti itu. Tak jarang ada yang sampai jatuh miskin hanya karena menanggung biaya kesehatan keluarga.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 55 persen dari seluruh rakyat Indonesia belum memiliki jaminan sosial. Adapun 45 persen atau sekitar 7 6 juta orang umumnya pegawai negeri dan swasta yang sudah memiliki jaminan kesehatan masyarakat. Rinciannya, 16 juta orang memiliki Askes, 4 juta mengantongi Jamsostek, 3 juta mempunyai asurasi komersial, dan 2 juta orang anggota Jamkesda.
Mereka yang telah terlindungi asuransi ternyata juga belum lepas dari potensi masalah karena terdapatprotection gap atau kesenjangan proteksi yang signifikan.
Berdasarkan hasil studi AIA Financial yang bertajuk ”Memahami Kesenjangan Proteksi Asuransi Jiwa di Indonesia”, tercatat kesenjangan itu (selisih antara kebutuhan proteksi dan dana yang dimiliki untuk menutup proteksi tersebut) mencapai sekitar Rp 105,7 juta per orang. Hasil survei menunjukkan, kebutuhan proteksi satu keluarga rata-rata mencapai Rp 137,21 juta, sementara dana darurat (emergency funds) yang mereka siapkan hanya Rp 31,48 juta. AIA Financial memperkirakan kesenjangan perlindungan untuk semua keluarga Indonesia mencapai Rp 6.128 triliun. Kesenjangan itu bakal terus bertambah karena biaya kesehatan terus naik. Survei yang melibatkan 1.208 responden tersebut juga mengungkap fakta mengejutkan karena sekitar 60 persen responden ternyata tidak memiliki asuransi atau dana cadangan untuk proteksi diri dan keluarga.
”Dari total penghasilan mereka yang dibelikan produk asuransi hanya 10 persen, sementara tabungan dan investasi 18 persen,” kata Peter J Crewe, Presiden Direktur AIA Financial. Menurut dia, masyarakat Indonesia sebenarnya mampu membeli proteksi asuransi. Hal itu terlihat dengan suburnya pertumbuhan kelas menengah. Sayangnya, kesadaran asuransi mereka masih rendah. Perlu edukasi dan sosialisasi ekstra untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap proteksi risiko.
Kelas menengah
Bank Dunia menyebutkan, 56,5 persen dari 237 juta populasi Indonesia masuk kategori kelas menengah. Kategori kelas menengah versi Bank Dunia adalah mereka yang membelanjakan uangnya 2 dollar AS (sekitar Rp 18.000) sampai 20 dollar AS (sekitar Rp 180.000) per hari.
Artinya, saat ini ada sekitar 134 juta warga kelas menengah di Indonesia. Disebutkan, terjadi peningkatan jumlah warga kelas menengah Indonesia sebanyak 45 juta orang dari posisi tahun 2003. Sementara dari 134 juta warga kelas menengah versi Bank Dunia itu, sekitar 14 juta orang masuk rata-rata pengeluaran 6 dollar AS (Rp 54.000) sampai 20 dollar AS per hari.
Masih menurut Bank Dunia, nilai uang yang dibelanjakan para warga kelas menengah Indonesia juga fantastis. Belanja pakaian dan alas kaki tahun 2010 mencapai Rp 113,4 triliun, belanja barang rumah tangga dan jasa Rp 194,4 triliun, belanja di luar negeri Rp 59 triliun, serta biaya transportasi Rp 238,6 triliun. Artinya dari sisi finansial sebenarnya mereka memiliki kemampuan yang cukup memadai.
Belum tergarapnya kelas menengah terlihat dari rendahnya penetrasi asuransi. Dalam lima tahun terakhir, tingkat penetrasi asuransi jiwa terhadap penduduk Indonesia bisa dikatakan stagnan di level 13-15 persen. Jumlah pemegang polis hanya berkisar 35 juta, baik individual maupun kumpulan, dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta.
Stagnasi tersebut terjadi di tengah pertumbuhan pendapatan premi yang cukup pesat. Angka pendapatan premi asuransi jiwa nasional memang terus tumbuh signifikan dalam lima tahun terakhir, rata-rata mencapai hampir 30 persen per tahun. Hal itu merupakan masalah serius karena berarti manfaat asuransi tidak bisa menjangkau masyarakat luas dan cenderung hanya dinikmati oleh kalangan yang itu-itu saja. Berarti pula, industri asuransi gagal meningkatkan daya tahan keuangan dan kesejahteraan mayoritas keluarga di Indonesia.
Hasbullah Thabrany, profesor di Fakultas Kesehatan Publik dari Universitas Indonesia, mengatakan, rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia karena penduduk Indonesia belum sadar risiko. Indonesia ketinggalan sekitar 50 tahun dibandingkan Malaysia.
Ia menyebutkan, peningkatan biaya perawatan di Indonesia rata-rata 7-8 persen per tahun.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nurhaida. ”Tantangan utama asuransi adalah persoalan mengubah paradigma,” katanya.
Paradigma yang selama ini berkembang cenderung melihat asuransi sebagai kebutuhan terakhir yang tidak terlalu penting. Padahal, asuransi adalah upaya melindungi diri dan keluarga dari berbagai risiko.
Risiko sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ada lima jenis risiko yang paling sering terjadi, yakni kematian, kecelakaan, sakit, musibah pada properti (rumah dan kendaraan), dan pemutusan hubungan kerja atau kebangkrutan usaha.
Dari sisi sejarah, asuransi sebenarnya sudah cukup lama dikenal. Di Indonesia, asuransi sudah muncul sejak kolonisasi Belanda. Saat itu Belanda mengembangkan asuransi untuk melindungi sektor perkebunan dan perdagangan.
Dalam sejarah sistem keuangan, kehadiran asuransi juga lebih dulu dibandingkan dengan instrumen lain seperti reksadana. Dengan sejarah yang cukup panjang, sudah seharusnya industri asuransi mencatat prestasi yang fantastis, apalagi di tengah pertumbuhan kelas menengah yang cukup pesat. Apalagi asuransi saat ini tidak melulu sebagai alat perlindungan diri atau perlindungan harta benda semata. Asuransi telah berkembang sedemikian jauh menjadi instrumen investasi yang diharapkan dapat menjamin tersedianya dana untuk kebutuhan masa depan .
Berbagai upaya untuk menggugah kesadaran bisa ditempuh. Misalnya saja kerja sama dengan institusi pendidikan. Pengenalan asuransi sejak dini membuat wawasan seseorang lebih terbuka. Langkah lainnya adalah pelatihan perencanaan keuangan kepada sejumlah keluarga.
Perusahaan ini secara khusus melatih ibu-ibu rumah tangga untuk mengatur keuangan keluarga. Ya, pendekatannya lebih kepada kaum perempuan. Itu bukan tanpa alasan karena perempuanlah yang selama ini lebih banyak mengatur keuangan keluarga.
Dari merekalah kesadaran berasuransi dibangun. Tidak hanya itu. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, sekitar 60 persen pelaku usaha kecil dan menengah adalah kaum perempuan. Artinya, perempuan juga menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Selain menumbuhkan kesadaran masyarakat, perusahaan asuransi juga harus melakukan evaluasi. Selama ini banyak citra negatif yang menempel ke asuransi. Sulitnya klaim dan kasus penipuan yang dilakukan sejumlah agen membuat masyarakat cenderung melihat asuransi dengan sebelah mata.
Berbagai tawaran manis diberikan kepada calon nasabah agar mereka terbujuk untuk membeli asuransi. Janji manfaat pun ditawarkan setinggi langit.
Namun, saat nasabah mengajukan klaim semuanya jadi berubah. Prosedurnya sangat berbelit karena tidak transparannya proses pemasaran asuransi sejak awal. (ENY PRIHTIYANI)
Editor :
Agus Mulyadi
Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/01/07/09384572/Menggugah.Kesadaran.Asuransi.Kelas.Menengah