Hasil dari keuntungan investasi saham, wajib dikeluarkan zakatnya sesuai dengan kesepakatan para ulama pada Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404.) Namun para ulama berbeda tentang kewajiban pengeluaran zakatnya.
Pendapat pertama yang dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman Isa dalam kitabnya “al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkmuha” mengatakan bahwa yang harus diperhatikan sebelum pengeluaran zakat adalah status perusahaannya, di mana:
- Jika perusahaan tersebut hanya bergerak di bidang layanan jasa, misalnya biro perjalanan, biro iklan, perusahaan jasa angkutan (darat, laut, udara), perusahaan hotel, maka sahamnya tidak wajib dizakati. Hal ini dikarenakan saham-saham itu terletak pada alat-alat, perlengkapan, gedung-gedung, sarana dan prasarana lainnya. Namun keuntungan yang diperoleh dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya jika telah mencapai haul dan nishab (jangka waktu dan jumlah tertentu).
- Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan dagang murni yang melakukan transaksi jual beli komoditi tanpa melakukan proses pengolahan, seperti perusahaan yang menjual hasil-hasil industri, perusahaan dagang dalam negeri, perusahaan ekspor-impor, dan lain lain, maka saham-saham perusahaan tersebut wajib dikeluarkan zakatnya di samping zakat atas keuntungan yang diperoleh. Caranya adalah dengan menghitung kembali jumlah keseluruhan saham kemudian dikurangi harga alat-alat, barang-barang ataupun inventaris lainnya. Besarnya kadar zakat adalah 2,5 persen dan bisa dikeluarkan setiap akhir tahun.
- Jika perusahaan tersebut bergerak di bidang industri dan perdagangan sekaligus, artinya melakukan pengolahan suatu komoditi dan kemudian menjual kembali hasil produksinya, seperti perusahaan Minyak dan Gas (MIGAS), perusahaan pengolahan mebel, marmer dan sebagainya, maka sahamnya wajib dizakatkan dengan mekanisme yang sama dengan perusahaan kategori kedua
Pendapat kedua adalah pendapat Abu Zahrah. Menurutnya, saham wajib dizakatkan tanpa melihat status perusahaannya karena saham adalah harta yang beredar dan dapat diperjual-belikan, dan pemiliknya mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tersebut. Ini termasuk kategori komoditi perdagangan dengan besaran zakat 2,5 persen dari harga pasarnya. Caranya adalah setiap akhir tahun, yang bersangkutan melakukan penghitungan harga saham pada harga pasar, lalu menggabungkannya dengan dividen (keuntungan) yang diperoleh. Jika besarnya harga saham dan keuntungannya tersebut mencapai nishab maka saham tersebut wajib dizakatkan.
Yusuf Qaradawi sendiri mempunyai pendapat yang agak berbeda dengan kedua pendapat di atas. Beliau mengatakan jika saham perusahaan berupa barang atau alat seperti mesin produksi, gedung, alat transportasi dan lain-lain, maka saham perusahaan tersebut tidak dikenai zakat. Zakat hanya dikenakan pada hasil bersih atau keuntungan yang diperoleh perusahaan, dengan kadar zakat 10 persen. Hukum ini juga berlaku untuk aset perusahaan yang dimiliki oleh individu/perorangan. Lain halnya kalau saham perusahaan berupa komoditi yang diperdagangkan (tercatat di bursa saham), zakat dapat dikenakan pada saham dan keuntungannya sekaligus karena dianalogikan dengan urudh tijarah (komoditi perdagangan). Besarnya kadar zakat adalah 2,5 persen.
Hal ini juga berlaku untuk aset serupa (surat-surat berharga lainnya) yang dimiliki oleh perorangan. Pendapat yang terakhir ini, sebagaimana disampaikan Yusuf Qaradawi nampaknya lebih mudah dalam aplikasinya. Zakat saham hanya diwajibkan pada saham yang berupa komoditi perdagangan dengan kadar zakat 2,5 persen. Untuk saham yang berupa alat-alat atau barang, zakatnya adalah pada keuntungan yang diperoleh dan bukan pada nilai saham itu sendiri. Kadar zakatnya 10 persen, dianalogikan dengan zakat hasil pertanian dan perkebunan.
sumber ; http://www.rumahzakat.org/zakat/saham-dan-investasi/